Kopeklin.id | Green Jobs atau lapangan kerja hijau menjadi isu yang mulai banyak diperbincangkan.
Masyarakat usia produktif berusaha memahami mengenai lapangan kerja hijau untuk menjawab pertanyaan seperti bidang apa saja yang termasuk dalam lapangan kerja hijau, bagaimana prospek peluang di masa mendatang, juga apa saja hal yang perlu disiapkan untuk bekerja di sektor ini.
Baca Juga:
APLSI dan IESR Siap Ambil Bagian dalam Transisi Energi
Project Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia berkolaborasi dengan Indonesia Mengglobal menggelar webinar bertajuk “Green Jobs In Indonesia: Opportunities, Challenges, and Future Outlook” dengan tujuan memberikan gambaran tentang lapangan kerja hijau dari praktisi di berbagai bidang.
Sebelumnya, pihak penyelenggara menggelar mini survei untuk menggali persepsi anak muda tentang green jobs.
Survei yang berhasil menjaring sekitar 200 responden ini mengungkap salah satu temuan menarik yaitu lebih dari 90% responden menyatakan bahwa akan lebih memilih perusahaan yang memperhatikan isu lingkungan.
Baca Juga:
IESR: Pengelolaan Panas Bumi Vital untuk Capai NZE
Desi Ayu Pirmasari, peneliti di Universitas Leeds Inggris, menyatakan bahwa green jobs ini begitu luas sektornya.
“Green jobs ini sangat luas spektrumnya, tidak terbatas pada spesifik sektor seperti energi saja. Contohnya, saat PNS membuat tata kota yang lebih hijau, staff procurement yang dalam pengadaan barang mempertimbangkan jejak karbon. Pengacara pun bisa menjadi green job bila ia membantu orang lain untuk menghirup udara segar dan memperjuangkan perubahan iklim,” ujar Desi.
Pendapat Desi ini diamini oleh Julius Christian, peneliti bahan bakar bersih IESR, dengan tren penggunaan energi terbarukan yang semakin luas, menurutnya saat ini begitu banyak sektor yang membutuhkan pekerja dengan wawasan keberlanjutan (sustainability), SDGs, dan lingkungan secara umum.
“Di sektor energi, dalam 5-10 tahun ke depan energi terbarukan akan semakin kompetitif dengan energi fosil, maka transisi energi sudah tidak bisa dielakkan lagi. Dari kajian IESR tentang Deep Decarbonization sendiri, akan ada sekitar 3,2 juta lapangan kerja baru. Tentu ini merupakan kesempatan yang besar dan harus disiapkan dari sekarang,” jelas Julius.
Persiapan sumber daya manusia dan sumber daya finansial ini sangat penting, karena perkembangan teknologi bergerak begitu cepat membutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni dan dukungan pendanaan yang cukup.
“Jadi jika di masa depan kita ingin memanfaatkan kesempatan (green jobs) ini, misalnya membuat manufacturing plant solar panel di Indonesia, kita harus gerak cepat. Kita harus mempertimbangkan full lifecycle dari semuanya, mulai dari carbon footprint dari manufacturing processnya sampai digunakan, dan hasilnya tidak instan. Kita baru bisa lihat (hasilnya) dalam misal 10 tahun ke depan,” tutur Noor Titan Putri, peneliti pasca-doktoral, Helmholtz-Zentrum Berlin, Jerman.
Jonathan Davy, pendiri dan CEO Ecoxyztem Venture Builder, menyatakan mulai banyak pengusaha berinvestasi pada sektor green jobs. Tantangan pengembangan bisnis ramah lingkungan di Indonesia terletak pada adopsi teknologi ramah lingkungan yang ada.
“Adopsi teknologi harus memenuhi tiga kategori yaitu desirability (apakah marketnya mau pakai), viability (apakah teknologi dibutuhkan), dan feasibility (apakah bisnisnya memungkinkan untuk berjalan). Saat ini kita juga masih heavily regulated sehingga beberapa bisnis proses masih terkunci,” jelas Jonathan.
Jonathan juga menyoroti perkembangan sumber daya manusia yang menurutnya perlu perubahan pola pikir dari semula mengenai seberapa banyak lapangan kerja yang dapat menyerap tenaga kerja menjadi seberapa banyak orang yang dapat menciptakan lapangan kerja. [Tio]