Kopeklin.WahanaNews.co | Ketika menjalani tugas yang berat atau ujian yang sulit, tanpa sadar kita sering menghela napas.
Ternyata, menurut psikologi banyak buruknya daripada hanya melegakan atau mengeluhkan beratnya tantangan yang harus dilalui.
Baca Juga:
Waspada! Kasus Pertama Cacar Monyet Klade I Muncul di California AS
Menurut ulasan Elke Vlemincxis, asisten profesor dalam ilmu kesehatan di Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda, emosi yang menyertai embusan napas panjang tersebut bersifat negatif, seperti perasaan takut, cemas atau tertekan.
Tetapi bisa juga berupa emosi positif yang membangkitkan, seperti kegembiraan atau keinginan.
Kadang, kita juga mengeluh ketika merasa emosional bukan?
Baca Juga:
Edy Rahmayadi Kampanye Akbar di Labura: Fokus pada Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur
Melansir Psyche, Jumat, 22 Juli, sebagian dari kita menganggap dengan menghela napas, maka menekan tombol ‘reset’ untuk tubuh.
Tetapi secara ilmiah, menghela napas atau desahan didefinisikan sebagai napas dalam atau menghirup napas dalam-dalam.
Penelitian pada awal 1960, meneliti hewan pengerat dan kemudian pada manusia.
Studi tersebut menunjukkan bahwa desahan memiliki fungsi penting dalam melindungi paru-paru.
Jika orang hanya bernapas dengan volume paru-paru yang sama sepanjang waktu, maka alveoli atau kantung udara kecil di paru-paru akan mengempis.
Ini akan membuat paru-paru kaku dan menghambat pertukaran oksigen dan karbon dioksida.
Oleh karena itu, menghirup dalam-dalam sering kali membuat alveoli mengembang penuh.
Sehingga membuat paru-paru fleksibel kembali dan memulihkan pertukaran gas.
Efek dari ‘pengaturan ulang’ ini, mengatur pernapasan dan membuat kita tetap sehat, tulis Vlemincxis. Selain itu juga bermanfaat langsung pada keadaan emosi.
Gambarannya, saat kita stres, ketegangan otot secara bertahap meningkat dan pernapasan kita menjadi tidak tertur. Perubahan-perubahan ini dapat dilawn dengan menghela napas.
Manfaatnya dapat meregangkan otot-otot pernapasan, mengurangi ketegangan otot dalam tubuh, mengurangi ketidakteraturan pernapasan, dan mengembalikan kadar oksigen serta karbon dioksida ketika terlalu rendah atau tinggi.
Artinya secara filologis, menghela napas mengarah pada perasaan lega.
Sejumlah penelitian memang menemukan manfaat positif dari menghela napas. Tetapi ternyata, manfaat tersebut hanya dialami ketika dilakukan secara spontan.
Pasalnya, terdapat penelitian yang menguji sejumlah partisipan seusai mengerjakan tes matematika.
Peserta diminta bernapas panjang, dan hasilnya tidak signifikan seperti napas dalam-dalam ketika dilakukan spontan.
Di antara manfaat positif, menghela napas berlebihan ternyata juga berisiko mengalami hiperventilasi.
Hiperventilasi ialah kondisi di mana tingkat karbon dioksida yang rendah di dalam tubuh. Keadaan ini menyebabkan pusing, palpitasi, perasaan cemas, sesak napas, dan nyeri.
Seperti halnya hal lain yang diyakini, sesuatu yang berlebihan itu buruk.
Bernapas dalam-dalam berlebihan, menjadi salah satu diagnosa bagi orang yang mengalami kecemasan kronis, gangguan panik, dan gangguan stres pascatrauma.
Mendesah sangat sering juga dikaitkan dengan gejala depresi pada orang dengan rheumatoid arthritis.
Tetapi belum bisa dipastikan apakah berlaku sebaliknya, bernapas dalam-dalam berlebihan mempengaruhi psikologis seseorang dalam aspek sosial. [Tio]