Kopeklin.id | Asosiasi Penambang Nikel Indonesia mendorong pemerintah berlaku adil dalam menerapkan aturan terkait industri nikel dari hulu ke hilir.
Penambang menilai industri hilir selama ini menerima banyak fasilitas dari negara.
Baca Juga:
Soal Nikel Indonesia Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kalah Lagi!
Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan bahwa selama ini kalangan penambang nikel terus menghadapi sejumlah beban kewajiban yang ditanggung agar terus dapat berproduksi.
Mereka diwajibkan untuk menyetor sejumlah royalti kepada pemerintah. Selain itu, mereka juga harus membayar penerimanan negara bukan pajak (PNBP). Hal ini berbanding terbalik dengan industri smelter.
“Kami bayar banyak kewajiban kepada negara. [Lalu] Kewajiban apa yang diberikan [negara] untuk industri hilir?” katanya saat webinar, Senin (06/12/2021).
Baca Juga:
Industri Hilir Sawit Siap Menuju Net Zero Emission
Dia menuturkan bahwa selama ini kalangan industri hilir menerima sejumlah keringanan termasuk fasilitas bebas bea masuk dan bea keluarkan.
Seharusnya kata dia, pemerintah turut memberikan keringanan serupa bagi penambang nikel.
Selain kewajiban PNBP dan royalti, penambang nikel masih harus merogoh kocek untuk menanggung biaya pengiriman di atas kapal tongkang hingga menanggung biaya lainnya bila terjadi selisih kadar nikel dari tambang ke smelter.
Hingga kini terdapat 328 pemilik izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi nikel. Pemegang IUP itu tersebar di sejumlah wilayah timur Indonesia. APNI mencatat 44 IUP tersebar di Maluku Utara, 123 IUP di Sulawesi Tengah, 133 IUP di Sulawesi Tenggara serta 5 IUP di Sulawesi Selatan.
Hingga kini setidaknya terdapat 25 smelter yang telah beroperasi di Indonesia. Pemerintah menargetkan setidaknya terdapat 98 smelter hingga 2025. 41 perusahaan masih dalam masa konstruksi dan 32 lainnya dalam perencanaan.
APNI menghitung total kapasitas produksi smelter existing di dalam negeri mencapai 12,7 juta ton dengan produk awal mencapai 7,0 juta ton dan produk lanjutan mencapai 5,7 juta ton.
Asosiasi juga merekam produksi nikel olahan hingga menjelang akhir tahun ini mencapai 2 juta ton. Jumlah ini terbagi atas produk nickel pig iron 664.746 ton, ferro nickel 1,30 juta ton serta nickel matte 72.785 ton.
Angka ini diperkirakan terus meningkat hingga akhir tahun ini. Mineral One Data Indonesia (MODI) memerinci dari kisaran produksi tersebut, 73,7 persen atau 73.563 ton nickel pig iron telah terjual.
Kemudian 62,09 persen produksi ferro nickel atau 949.887 ton terjual serta nickel matte telah terjual 63.389 ton dari produksi. [Tio]