Kopeklin.id | Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai lembaga yang berwenang dalam program rehabilitasi narkoba mengatakan kerangkeng tersebut bukan tempat rehabilitasi pengguna narkoba.
"Kerangkeng di rumah bupati Langkat non-aktif, Bapak Perangin-angin, menurut BNN itu bukan tempat rehab," kata Kepala Biro Humas dan Protokol BNN, Brigjen Pol Sulistyo Pudjo Hartono, kepada media akhir Januari lalu.
Baca Juga:
Kasus Kerangkeng, Anak Eks Bupati Langkat Ditahan bersama 7 Tersangka Lain
Sulistyo mengatakan lokasi kerangkeng yang diklaim sebagai tempat rehabilitasi narkoba milik bupati nonaktif Langkat itu tidak memenuhi standar dan persyaratan yang tertuang dalam peraturan menteri soal tempat rehabilitasi yang didirikan masyarakat.
Kegiatan yang dilakukan, kata Sulistyo, juga tidak termasuk kegiatan rehabilitasi.
"Tujuan merehab itu adalah untuk menyembuhkan. Kegiatannya adalah kegiatan rehab. Kalau orang masuk ke tempat tersebut kemudian dikerangkeng, kemudian pagi diminta bekerja di kebun-kebun, sore baru pulang, itu bukan untuk merehab," ujar Sulistyo menegaskan.
Baca Juga:
Polda Sumut Tahan Anak Bupati Langkat dan 7 Tersangka Kasus Kerangkeng
Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan, mengatakan 30 orang yang berada di dalam kerangkeng dipekerjakan di pabrik sawit milik bupati nonaktif Langkat.
Mereka tidak dibayar dengan dalih memberi keahlian untuk para 'warga binaan' sebagai bekal bagi mereka selepas keluar dari tempat tersebut.
"Mereka tidak diberi upah seperti pekerja karena mereka merupakan warga binaan, namun diberikan ekstra puding dan makanan," kata Ramadhan.
Keterangan Polri soal kerangkeng manusia ini menuai perdebatan di media sosial. Sebagian mempertanyakan mengapa kepolisian melegitimasi tempat penyekapan menjadi tempat pembinaan.
Sejumlah orang, termasuk mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti, mengecam keberadaan kerangkeng manusia di kediaman bupati nonaktif Langkat.
Tak sedikit pula yang mengutarakan kekagetan mereka.
Seperti apa rehabilitasi yang sesuai aturan?
Peraturan soal rehabilitasi untuk pengguna narkoba diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam undang-undang itu, rehabilitasi dibagi menjadi rehabilitasi medis dan sosial.
Pelaksanaan rehabilitasi medis dilakukan oleh rumah sakit yang ditunjuk menteri kesehatan maupun lembaga rehabilitasi tertentu yang didirikan pemerintah maupun masyarakat setelah mendapat persetujuan menteri kesehatan.
Aturannya tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2415 Tahun 2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalaguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.
Sedangkan untuk rehabilitasi sosial bisa diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat melalui persetujuan kementerian sosial. Aturannya tertuang dalam Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 16 Tahun 2020 tentang Asistensi Rehabilitasi Sosial.
Kata Sulistyo, pihak yang ingin mendirikan tempat rehabilitasi "wajib memenuhi persyaratan administrasi dan material yang disyaratkan dalam peraturan tersebut".
Untuk rehabilitasi medis harus memiliki izin operasional dan mendapat rekomendasi dari pemerintah daerah, sesuai dengan Permenkes Nomor 2415.
Fasilitas kesehatan untuk proses pengobatan dalam membebaskan pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika dari ketergantungan narkotika juga harus memadai dan dilarang menggunakan kekerasan fisik maupun psikologis.
Tempat rehabilitasi itu juga harus memiliki dokter dan perawat yang terlatih untuk menjalani perawatan maupun terapi.
Sementara itu untuk rehabilitasi sosial, penyelenggaraan asistensi rehabilitasi harus melalui lembaga kesejahteraan sosial (LKS) yang berbadan hukum dan dalam pelaksanaannya harus disupervisi oleh Kementerian Sosial, sesuai dengan Permensos Nomor 16.
Rehabilitasi sosial yang dimaksud dalam Permensos itu adalah "proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat" dengan melakukan asistensi rehabilitasi.
Kegiatan asistensi rehabilitasi harus menggunakan pendekatan berbasis keluarga, komunitas, dan/atau residensial melalui kegiatan dukungan pemenuhan kebutuhan hidup layak, perawatan sosial dan/atau pengasuhan anak, dukungan keluarga, terapi fisik, terapi psikososial, terapi mental spiritual, pelatihan vokasional, pembinaan kewirausahaan, bantuan sosial dan asistensi sosial, serta dukungan aksesibilitas.
Asistensi rehabilitasi pun harus melibatkan tenaga ahli seperti tenaga kesejahteraaan sosial, dokter, terapis, psikolog, dan tenaga profesional lainnya yang membantu pelaksanaan program rehabilitasi.
Dilihat dari dua peraturan tersebut, kerangkeng di rumah bupati Langkat memang bukan tempat rehabilitasi, meskipun tidak terdaftar.
"Sudah izinnya enggak ada, tempatnya tidak layak, programnya tidak ada, tujuannya tidak ada, cara kerjanya tidak ada, personil untuk merehabnya enggak ada, artinya bukan tempat rehab," kata Sulistyo.
Mengapa didiamkan oleh aparat dan BNN setempat?
Sejak keberadaan kerangkeng di rumah bupati Langkat menguak ke publik, Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol RZ Panca Putra Simanjuntak, menyebut kerangkeng itu merupakan tempat rehabilitasi yang didirikan secara pribadi dan "sudah berlangsung selama 10 tahun".
Namun, kata dia, tempat itu tidak mempunyai izin pemerintah.
Plt Kepala BNN Kabupaten (BNNK) Langkat Rusmiati mengatakan tempat yang diklaim sebagai pusat rehabilitasi itu belum memiliki izin resmi.
Dia mengatakan pihaknya sudah mengingatkan bupati Langkat untuk mengurus izin tempat rehabilitasi ketika BNNK mengunjungi tempat itu pada 2017 lalu.
"Kemudian pada saat itu Kasi Rehabilitasi sudah menyarankan kepada adik Pak Bupati, karena pada saat itu keterangan Pak Bupati sendiri bahwa Panti Rehab itu sudah dikelola oleh adeknya, Ibu Ketua DPRD sekarang, Ibu Sribana. Beliau yang mengelola pada saat itu. Mungkin sampai saat ini ya," kata Rusmiati pada Selasa (25/1/2022) dikutip dari Kompas TV.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mempertanyakan hal itu. Kalau BNNK sudah melihat tempat itu pada 2017 lalu, "mengapa tidak ada tindak lanjutnya saat itu?"
Padahal, kata Maidina, peraturan soal standar tempat rehabilitasi sudah dibuat kala itu.
"Kenapa akhirnya mereka tidak melakukan sesuatu. Itu kan perlu diusut, kalau ada sanksi administrasi yang bisa diberlakukan bagi penyelenggara, termasuk BNNK sendiri harusnya bisa dilakukan. Ini PR-nya di BNN kalau serius untuk menstandarkan aturan rehabilitasi," kata Maidina seperti diberitakan BBC News Indonesia.
"Kalau bentuknya kerangkeng tidak sejalan dong dengan apa yang mereka bangun?" ujar Maidina mempertanyakan.
Sulityo mengatakan BNN tidak memiliki wewenang untuk menindak tempat itu karena kerangkeng di rumah bupati Langkat itu tidak termasuk tempat rehabilitasi narkoba dan tidak terdaftar dalam tempat rehabilitasi resmi.
Menurut Sulistyo, apa yang dilakukan BNNK Langkat saat itu sudah benar karena "itu masih sangat prematur untuk BNN bisa masuk" dan "beliau adalah ketua administrasi wilayah".
"Beliau pejabat publik, bupati, punya staf di bawahnya banyak, semua punya kewenangan, yang di dinas kesehatan bisa memberikan masukan. Mengapa lemparnya ke BNN?" ujar Sulistyo.
Sesuai dengan peraturan yang ada, masyarakat yang ingin mendirikan tempat rehabilitasi harus mendaftar dan mendapatkan persetujuan dari Kementerian Kesehatan (rehabilitasi medis) atau Kementerian Sosial (rehabilitasi sosial).
Ketika tempat itu sudah terdaftar sebagai tempat rehabilitasi narkoba, baru BNN bisa mengajukan penutupan kepada kementerian terkait jika ditemukan pelanggaran.
"Kalau kita mendengar tempat rehab resmi bermasalah, tempat rehab yang punyanya Kemenkes atau Kemensos bermasalah, kita mendengar, kita telepon, kita bersurat untuk dihapus izinnya. Tapi kalau nggak resmi, bukan urusan kita," kata Sulistyo.
Berdasarkan pasal 70 UU Nomor 35 Tahun 2009, BNN bertugas meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. [Tio]