Kopeklin.id | Presiden Jokowi telah menandatangani Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Selanjutnya, perundangan ini memiliki nomor resmi UU Nomor 12 Tahun 2022.
Baca Juga:
Kinerja Hukum Indonesia dalam Penanganan Kasus KBGO
UU 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini ditandatangani Presiden Jokowi pada 9 Mei.
Lalu, pada hari yang sama, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly resmi mengundangkan perundang-undangan tersebut.
Undang-undang tersebut sebelumnya telah disahkan dalam pembicaraan tingkat II di Rapat Paripurna DPR RI pada 12 April 2022.
Baca Juga:
Kasus Dokter Lecehkan Istri Pasien Berakhir dengan Penyerahan Uang Damai Rp 350 Juta
Pengesahan dilakukan setelah selama enam tahun perundangan ini menjadi pembahasan para legislator.
Dalam UU TPKS memuat beberapa poin penting, salah satunya yaitu memasukan 19 jenis kekerasan seksual termasuk kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).
Selain itu, undang-undang ini mengatur larangan pemaksaan perkawinan, termasuk dalam kasus pemerkosaan.
Dalam UU tersebut juga ditegaskan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan melalui jalur restorative justice, kecuali pelaku masih di bawah umur atau anak-anak.
Kemudian, dengan adanya UU TPKS maka aparat kepolisian memiliki pegangan payung hukum dalam menangani perkara kekerasan seksual.
Termasuk tidak boleh menolak laporan korban dengan alasan apapun, hingga memberikan perlindungan terhadap korban.
Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya mengatakan UU TPKS termasuk cepat dalam prosesnya karena hanya memakan waktu delapan hari di tingkat pembahasan. Namun, dia memastikan tak ada substansi yang ditinggalkan.
"Secara kualitatif, memang TPKS ini memang undang-undang yang sangat joss. Ini secara substansi mumpuni secara proses cepat, delapan hari bisa kelar di proses pembahasannya,” ungkap Willy kepada wartawan pada Rabu, 27 April lalu.
Politikus Partai NasDem itu pun membeberkan alasan pembahasan RUU TPKS dikejar cepat rampung tanpa meninggalkan kualitas. Pertama, kesamaan kehendak politik dari DPR dan pemerintah untuk menyelesaikan RUU tersebut.
Kedua, partisipasi dan dukungan dari elemen masyarakat yang terus mengalir. Dalam proses penyusunannya, terang Willy, DPR dan pemerintah melibatkan 120 kelompok masyarakat sipil.
“Political will DPR dan pemerintah memiliki frekuensi yang sama, ditambah partisipasi publik yang begitu intensif. Dan DPR yang terbuka, sidangnya terbuka semua. Gak ada yang diumpet-umpetkan,” terangnya. [Tio]